Monday 1 March 2010

Wajibal Wujud



http://www.angelfire.com/journal/suluk/wajibalwujud.html

Para Fuqaha' tidak bersetuju dengan pendapat Aulia Allah. Mereka tetap mengatakan wujud itu ada dua.

Satu yang asal dan yang lagi satu sementara, yang datang dari 'adam(tidak ada). Mereka berkata.. Allah tidak berkuasa menjadikan 'ghair' nya yang tidak ada wujudnya. Menjadi wujudnya benda-benda bukan dari 'tidak ada' tetapi adalah dari A'yan Saabitah Al-Ilmiah' (bentuk-bentuk tetap dalam ilmu) yang pada luarnya 'Adam Idhofi'(tidak ada menurut bandingan).

A'yan ternampak apabila apabila Penzhohir mengurniakan kepada mereka Wujud Idhofi(Wujud bandingan); iaitu pada luarnya mereka 'adam(tidak ada) tetapi wujud dalam ilmu. Oleh itu benda-benda(objek) tidak datang dari 'yang tidak ada' tetapi dari Wujud Allah, dalam Ilmu Allah. Mereka beserta dengan Wujud Allah. Pada luarnya mereka datang dengan Wujud Allah, tetapi sepanjang yang berkenaan dengan pengetahuan mereka tentang luar(zhohir) mereka itu, mereka tidak membawa-bawaan wujud dalam luarnya.

Dengan demikian perintah "KUN" atau 'Jadilah' bukan diarahkan kepada 'adam tetapi adalah kepada 'Ayan Saabitah iaitu bakat-bakat peribadinya sendiri yang asal. Yang nampak pada zhohirnya adalah sementara dan tidak kekal. Hakikat 'adam tidak boleh ditukar menjadi Wujud dan sebaliknya.

Perbezaan pendapat antara ulama dan orang-orang sufi bukanlah pada prinsip doktrin atau butir-butirnya tetapi adalah pada prinsip-prinsip berikut;

1. Berkenaan dengan kejadian atau makhluk. Ulama-ulama mengatakan wujud kejadian adalah berbeza dengan Wujud Allah. Ahli-ahli Sufi mengatakan tidak ada perbezaan' hanya satu jua iaitu A'yan bagi yang satu lagi.

2. Ulama-ulama mengatakan kejadian adalah dari 'adam dan perintah "KUN" atau 'Jadilah' adalah ditujukan kepada 'adam. Ahli-ahli Sufi mengatakaan "yang diperintahkan itu" mestilah ada atau wujud untuk menerima perintah itu dan ini ialah A'yan dalam pengetahuan; iaitu bakat dalam batin.

3. Perkara berkenaan "HUWA HUWA" dan "KA ANNAHU HUWA". Sufi seperti Shahabuddin Shahruwardi mengatakan bahawa dalam fana, benda atau makhluk(yang terhad) menjadi "KA ANNAHU" (seperti DIA) dan bukan "HUWA HUWA" (DIA DIA). Seperti besi dalam api yang menjadi seperti api dan bukan api yang sebenarnya. Hakikat besi berlainan daripada hakikat api. Menurut "Nafahatul Unsi"(Nama Kitab) 300 Aulia adalah mengikut Mazhab ini dan 300 lagi mengikut Sheikh Al-Akbar(Sheikh Muhibuddin Ibn Arabi) yang mengatakan makhluk menjadi "HUWA HUWA".

Sheikh Al-Akbar menyatakan Wujud tidak lebih daripada satu. Yang sama itu juga menzhohirkan kepada diriNya dengan diriNya. Seperti air menzhohirkan kepada dirinya dengan rupa ais secara pembatasan. Apabila dalam keadaan fana bentuk atau pembatasan hilang, Yang Mutlaq tinggal dan menjadi "HUWA HUWA". Mazhab ini pergi sampai kepada Wahidiah.

Mazhab yang kedua itu mengatakan ada dua wujud yang berlainan dan dua benda yang berlainan dalam pandangan mereka. Misalnya besi dan api. Besi menjadi api sementara, api tetap api dan besi tetap besi. Apabila ombak reda, laut tetap tinggal. Firman Allah yang bermaksud "Allah adalah Allah dan tidak ada apa pun besertanya". "Allah sekarang adalah seperti Allah dahulu jua".

Apabila buih berpecah, air tetap tinggal seperti dahulu juga. Buih itu pada hakikatnya adalah air juga. Rupa atau bentuk itu adalah pada zhohir sahaja tetapi wujudnya tidak ada. Air sekarang seperti air yang dulu juga. "Yang lain adalah tidak lebih dari hanya nama pada fikiran sahaja".

Oleh yang demikian, semua nama(ASMA) adalah penzhohiran(manifestasi) daripada satu hakikat. Kadang-kadang hakikat itu lautan; kadang-kadang buih; kadang-kadang ais; dan kadang-kadang salji; kadang-kadang Allah; kadang-kadang makhluk 'benda'; kadang-kadang tidak terhad; kadang-kadang terhad. Nama itu banyak dan yang dinama adalah SATU.

Filosuf dan Mutakallimun mengatakan bahawa kesan atau akibat perbuatan Allah tidak ada penzhohiran tanpa bentuk-bentuk atau rupa-rupa yang dizhohirkan. Kenyataan ini menunjukkan satu kecacatan dalam Uluhiyah(Esa Dalam Ketuhanan). Oleh itu, bentuk-bentuk itu adalah dirinya sendiri pada zhohirnya dan adalah hakikat-hakikatnya. DIA tidak bergantung kepada "YANG LAIN" untuk penzhohiran.

kisah hidup para aulia-syeckh Abdul Muhyi



syeckh Abdul Muhyi, Syeikh Haji (Mataram, Lombok, 1071 H/1650 M-Pamijahan, Bantarkalong, Tasikmalaya, Jawa Barat 1151 H/1730 M). Ulama tarekat Syattariah, penyebar agama Islam di Jawa Barat bagian selatan. Karena dipandang sebagai wali, makmnya di Pamijahan di keramatkan orang.

Abdul Muhyi datang dari keluarga bangsawan. Ayahnya, Sembah Lebe Warta Kusumah, adalah keturunan raja Galuh (Pajajaran). Abdul Muhyi dibesarkan di Ampel, Surabaya, Jawa Timur. Pendidikan agama Islam pertama kali diterimanya dari ayahnya sendiri dan kemudian dari para ulama yang berada di Ampel. Dalam usia 19 tahun, ia berangkat ke Kuala, Aceh, untuk melanjutkan pendidikannya dan berguru pada Syeikh Adur Rauf Singkel, seorang ulama sufi dan guru tarekat Syattariah. Syeikh Abdur Rauf Singkel adalah ulama Aceh yang berupaya mendamaikan ajaran martabat alam tujuh -yang dikenal di Aceh sebagai paham wahdatul wujud atau wujudiyyah (panteisme dalam Islam)-dengan paham sunah. Meskipun begitu Syeikh Abdur Rauf Singkel tetap menolak paham wujudiyyah yang menganggap adanya penyatuan antara Tuhan dan hamba. Ajaran inilah yang kemudian dibawa Syeikh Abdul Muhyi ke Jawa.

Masa studinya di Aceh dihabiskannya dalam tempo enam tahun (1090 H/1669 M-1096 H/1675 M). Setelah itu bersama teman-teman seperguruannya, ia dibawa oleh gurunya ke Baghdad dan kemudian ke Mekah untuk lebih memperdalam ilmu pengetahuan agama dan menunaikan ibadah haji. Setelah menunaikan ibadah haji, Syeikh Haji Abdul Muhyi kembali ke Ampel. Setelah menikah, ia meninggalkan Ampel dan mulai melakukan pengembaraan ke arah barat bersama isteri dan orang tuanya. Mereka kemudian tiba di Darma, termasuk daerah Kuningan, Jawa Barat. Atas permintaan masyarakat muslim setempat, ia menetap di sana selama tujuh tahun (1678-1685) untuk mendidik masyarakat dengan ajaran Islam. Setelah itu ia kembali mengembara dan sampai ke daerah Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat. Ia mentap di Pameungpeuk slama 1 tahun (1685-1686) untuk menyebarkan agama Islam di kalangan penduduk yang ketika itu masih menganut agama Hindu. Pada tahun 1986 ayahnya meninggal dunia dan dimakamkan di kampung Dukuh, di tepi Kali Cikangan. Beberapa hari setelah pemakaman ayahnya, ia melanjutkan pengembaraannya hingga ke daerah Batuwangi. Ia bermukim beberapa waktu di sana atas permintaan masyarakat. Setelah itu ia ke Lebaksiuh, tidak jauh dari Batuwangi. Lagi-lagi atas permintaan masyarakat ia bermukim di sana selama 4 tahun (1686-1690). Pada masa empat tahun itu ia berjasa mengislamkan penduduk yang sebelumnya menganut agama Hindu. Menurut cerita rakyat, keberhasilannya dalam melakukan dakwah Islam terutama karena kekeramatannya yang mampu mengalahkan aliran hitam. Di sini Syeikh Haji Abdul Muhyi mendirikan masjid tempat ia memberikan pengajian untuk mendidik para kader yang dapat membantunya menyebarkan agama Islam lebih jauh ke bagian selatan Jawa Barat. Setelah empat tahun menetap di Lebaksiuh, ia lebih memilih bermukim di dalam gua yang sekarang dikenal sebagai Gua Safar Wadi di Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat.

Menurut salah satu tradisi lisan, kehadirannya di Gua Safar Wadi itu adalah atas undangan bupati Sukapura yang meminta bantuannya untuk menumpas aji-aji hitam Batara Karang di Pamijahan. Di sana terdapat sebuah gua tempat pertapaan orang-orang yang menuntut aji-aji hitam itu. Syeikh Haji Abdul Muhyi memenangkan pertarungan melawan orang-orang tersebut hingga ia dapat menguasai gua itu. Ia menjadikan gua itu sebagai tempat pemukiman bagi keluarga dan pengikutnya, di samping tempat ia memberikan pengajian agama dan mendidik kader-kader dakhwah Islam. Gua tersebut sangat sesuai baginya dan para pengikutnya untuk melakukan semadi menurut ajaran tarekat Syattariah. Sekarang gua tersebut banyak diziarahi orang sebagai tempat mendapatkan “berkah”. Syeikh Haji Abdul Muhyi juga bertindak sebagai guru agama Islam bagi keluarga bupati Sukapura, bupati Wiradadaha IV, R. Subamanggala.

Setelah sekian lama bermukim dan mendidik para santrinya di dalam gua, ia dan para pengikutnya berangkat menyebarkan agama Islam di kampung Bojong (sekitar 6 km dari gua, sekarang lebih dikenal sebagai kampung Bengkok) sambil sesekali kembali ke Gua Safar Wadi. Sekitar 2 km dari Bojong ia mendirikan perkampungan baru yang disebut kampung Safar Wadi. Di kampung itu ia mendirikan masjid (sekarang menjadi kompleks Masjid Agung Pamijahan) sebagai tempat beribadah dan pusat pendidikan Islam. Di samping masjid ia mendirikan rumah tinggalnya. Sementara itu, para pengikutnya aktif menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Barat bagian selatan. Melalui para pengikutnya, namanya terkenal ke berbagai penjuru jawa Barat.

Menurut tradisi lisan, Syeikh Maulana Mansur berulang kali datang ke Pamijahan untuk berdialog dengan Syeikh Haji Abdul Muhyi. Syeikh Maulana Mansur adalah putra Sultan Abdul Fattah Tirtayasa dari kesultanan Banten. Sultan Tirtayasa sendiri adalah keturunan Maulana Hasanuddin, sultan pertama kesultanan Banten yang juga putra dari Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati, salah seorang Wali Songo.

Berita tentang ketinggian ilmunya itu sampai juga ke telinga sultan Mataram. Sultan kemudian mengundang Syeikh Haji Abdul Muhyi untuk menjadi guru bagi putra-putrinya di istana Mataram. Sultan Mataram Paku Buwono II (1727-1749) ketika itu bahkan menjanjikan akan memberi piagam yang memerdekakan daerah Pamijahan dan menjadikannya daerah “perdikan”, daerah yang dibebaskan dari pembayaran pajak. Undangan sultan Mataram itu tidak pernah dilaksanakannya, karena pada tahun 1151 H (1730 M) Syeikh Haji Abdul Muhyi meninggal dunia karena sakit di Pamijahan. Berdasarkan keputusan sultan Mataram itulah, oleh pemerintah kolonial Belanda, melalui keputusan residen Priangan, Pamijahan sejak tahun 1899 dijadikan daerah “pasidkah”, daerah yang dikuasai secara turun temurun dan bebas memungut zakat, pajak, dan pungutan lain untuk keperluan daerah itu sendiri.

Makam Syeikh Haji Abdul Muhyi yang terdapat di Pamijahan diurus dan dikuasai oleh keturunannya. Makamnya itu ramai diziarai orang sampai sekarang karena dikeramatkan. Sampai saat ini desa Pamijahan dipimpin oleh seorang khalifah, jabatan yang diwariskan secara turun-temurun, yang juga merangkap sebagai juru kunci makam dan mendapat penghasilan sedekah dari para peziarah.

Karya tulis Syeikh Haji Abdul Muhyi yang asli tidak ditemukan lagi. Akan tetapi ajarannya disalin oleh murid-muridnya, di antaranya oleh putra sulungnya sendiri, Syeikh Haji Muhyiddin yang menjadi tokoh tarekat Syattariah sepeninggal ayahnya. Syeikh Haji Muhyiddin menikah dengan seorang putri Cirebon dan lama menetap di Cirebon. Ajaran Syeikh Haji Abdul Muhyi versi Syeikh Haji Muhyiddin ini ditulis dengan huruf pegon (Arab Jawi) dengan menggunakan bahasa Jawa (baru) pesisir. Naskah versi Syeikh Haji Muhyiddin itu berjudul Martabat Kang Pitutu (Martabat Alam Tujuh) dan sekarang terdapat di museum Belanda, dengan nomor katalog LOr. 7465, LOr. 7527, dan LOr. 7705.

Ajaran “martabat alam tujuh” ini berawal dari ajaran tasawuf wahdatul wujud (kesatuan wujud) yang dikembangkan oleh Ibnu Arabi. Tidak begitu jelas kapan ajaran ini pertama kali masuk ke Indonesia. Yang jelas, sebelum Syeikh Haji Abdul Muhyi, beberapa ulama sufi Indonesia sudah ada yang menulis ajaran ini, seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani (tokoh sufi, w. 1630), dan Abdur Rauf Singkel, dengan variasi masing-masing. Oleh karena itu sangat lemah untuk mengatakan bahwa karya Syeikh Haji Abdul Muhyi yang berjudul Martabat Kang Pitutu ini sebagai karya orsinilnya, tetapi besar kemungkinan berupa saduran dari karya yang sudah terdapat sebelumnya dengan penafsiran tertentu darinya.

Menurut ajaran “martabat alam tujuh”, seperti yang tertuang dalam Martabat kang Pitutu, wujud yang hakiki mempunyai tujuh martabat, yaitu

(1) Ahadiyyah, hakikat sejati Allah Swt.,
(2) Wahdah, hakikat Muhammad Saw.,
(3) Wahidiyyah, hakikat Adam As.,
(4) alam arwah, hakikat nyawa,
(5) alam misal, hakikat segala bentuk,
(6) alam ajsam, hakikat tubuh, dan
(7) alam insan, hakikat manusia.


Kesemuanya bermuara pada yang satu, yaitu Ahadiyyah, Allah Swt. Dalam menjelaskan ketujuh martabat ini Syeikh Haji Abdul Muhyi pertama-tama menggarisbawahi perbedaan antara Tuhan dan hamba, agar -sesuai dengan ajaran Syeikh Abdur Rauf Singkel-orang tidak terjebak pada identiknya alam dengan Tuhan. Ia mengatakan bahwa wujud Tuhan itu qadim (azali dan abadi), sementara keadaan hamba adalah muhdas (baru). Dari tujuh martabat itu, yang qadim itu meliputi martabat Ahadiyyah, Wahdah, dan Wahidiyyah, semuanya merupakan martabat-martabat “keesaan” Allah Swt. yang tersembunyi dari pengetahuan manusia. Inilah yang disebut sebagai wujudullah. Empat martabat lainnya termasuk dalam apa yang disebut muhdas, yaitu martabat-martabat yang serba mungkin, yang baru terwujud setelah Allah Swt. memfirmankan “kun” (jadilah).

Selanjutnya melalui martabat tujuh itu Syeikh Haji Abdul Muhyi menjelaskan konsep insan kamil (manusia sempurna). Konsep ini merupakan tujuan pencapaian aktivitas sufi yang hanya bisa diraih dengan penyempurnaan martabat manusia agar sedekat-dekatnya “mirip” dengan Allah Swt.

Melalui usaha Syeikh Haji Muhyiddin, ajaran martabat tujuh yang dikembangkan Syeikh Abdul Muhyi tersebar luas di Jawa pada abad ke-18.

Saturday 27 February 2010

HAKIKAT KETUHANAN - angelfire.com

MENCARI YANG ADA

Puncak yang tertinggi ialah "Ma'rifatullah" (Mengenal Allah). Dengan segenap kepandaian filsafat, mantik, keindahan dan pengalaman. Demikianlah kata seorang sahabat apabila mengisyaratkan sesuatu yang berkaitan dengan buah yang diperolehi dari "Ma'rifatullah" .

Untuk mencapai puncaknya yang hakiki tidak dapat tidak seorang sufi itu perlu mati dan meninggalkan alam kehidupan ini. Jika tidak selama-lamanya mereka hanya asyik dengan angan-angan dan khayalan semata-mata. Mati seperti yang dimaksudkan dengan La Haula Wala Quwwatailla billah.

"Kerana hidup itu pada hakikatnya adalah kegelapan dan mati itulah keterangan."

Dunia dan seisi alam ini telah disepakati oleh ahli-ahli ilmu dan ahli makrifat sebagai sesuatu yang hakikatnya tidak wujud. Ia adalah adum sebenarnya jika dihadapkan dengan Wujud yang Zaati iaitu Wujud Allah. Alam ini wujud cuma pada fikiran sahaja tetapi tidak wujud dalam hakikat. Jadi kehidupan di dunia ini tidak lebih dari satu perkara khayalan sahaja kerana ianya cuma wujud pada fikiran dan tidak ada hakikat wujudnya. Ia adalah semata-mata kosong dan gelap.

Sesuatu yang kosong dan gelap adalah yang merujuk kepada sesuatu yang adum kerana tidak ada sesuatu yang terlebih gelap daripada gelap yang ada di alam ini selain daripada adum atau tidak ada. Yang tidak ada selama-lamanya tidak akan bertukar hakikatnya menjadi ada. Hakikat yang tidak ada(adum) selama-lamanya tidak bertukar menjadi wujud. Jika sudah tidak wujud, maka tentu sahaja tidak ada sesuatu yang boleh diketahui atau difahami atau dirasa atau boleh dilihat. Jadi tidak ada sebarang idea yang boleh dicetuskan di sini melainkan semata-mata kosong, hampa.

Dengan itu, mencari "Yang Ada" daripada sesuatu "yang tidak ada" adalah satu usaha yang sia-sia. Ini adalah kerana yang adum tidak berupaya menzhohirkan keabadian "Yang Ada" sebaliknya pula Yang Ada atau Yang Wajibal Wujud inilah yang mewujudkan segala sesuatu yang adum kepada ada. Wujudnya yang adum itu(hamba) adalah dari limpahan Zat Yang Wajibal Wujud. Jika demikian ia tidak lain sekadar untuk menyatakan Tajalli Keabadian Yang Wajibal Wujud itu. Zat yang Ghaibul Ghuyub itu selama-lama tidak akan ada kenyataannya tanpa ada penzhohiran Kesempurnaan Sifat-sifatNya. Sesuatu yang akan dizhohirkan sememangnya telah maklum dalam pengetahuanNya Yang Qadim. Ini dinamakan sebagai A'yan Sabitah. Mustahil sesuatu yang hendak dizohirkan berada di luar Pengetahuan Yang Qadim itu. Oleh itu bentuk-bentuk penzhohirannya telah sedia ada sebagaimana Qadimnya Zat itu. Ia zhohir pada batin Zat Yang Qadim. Ia zhohir dalam perhimpunan titik itu. Ia zhohir setelah bersama ghaib dalam lautan AhdiyahNya.

Dalam ketenangan lautan Ahdiyah timbul buih Wahdah. Wahdah adalah kenyataan kesempurnaan SifatNya. Inilah Hakikat Muhammadiyah atau Nur Muhammad. Di dalam titik inilah terhimpun seluruh hal-ahwal. Titik inilah yang akan menuliskan huruf Alif dan yang lainnya. Titik itulah yang akan menyatakan perincian rahsia yang terdapat dalam dakwat melalui pena. Inilah perbatasan dan pintu untuk mengenali yang "tidak ada had". Melalui tulisan.......melalui Alif......melalui noktah........dan memasuki botol dakwat. Melalui afa'al, melalui asma, melalui sifat....dan ghaib bersama ghaibnya Zat Wajibal Wujud. Melalui arwah.....melalui Wahdiyah......melalui Wahdah dan menjadi Rahsia dalam Ahdiyah. Melalui Syuhud....melalui Nur....melalui Ilmu....bersatu dalam Keabadian Wujud.

Dengan demikian perintah "KUN" atau 'Jadilah' bukan diarahkan kepada 'adam(yang tidak ada) tetapi adalah kepada suatu yang telah ada iaitu bakat-bakat peribadiNya sendiri yang
asal (A'yan Sabitah). Yang nampak pada zhohirnya adalah sementara dan tidak kekal. Yang tersembunyi dalam batinnya adalah kekal dan abadi dalam RahsiaNya. Hakikat 'adam tidak boleh ditukar menjadi Wujud dan sebaliknya; hakikat Wujud tidak akan bertukar menjadi adam. Dialah Yang Zhohir dan Dialah Yang Batin. Dialah Yang Awal Dan Dialah Yang Akhir.

Oleh itu, WujudNya Allah adalah lebih terang dan nyata dari wujud yang lain. Ia adalah Yang Melihat dan Yang dilihat. Cahaya tidak boleh melihat tanpa cahaya dan apa yang terlihat adalah cahaya itu sendiri. Benda-benda adalah gelap. Pelihat melihat dengan cahaya matahari, dan benda yang dilihat adalah dilihat dengan cahaya yang sama. Semua wujud benda adalah gelap. Wujud benda-benda itu dipinjam dari wujud Allah, dan satu Amanah Dari Allah. Dia Yang Melihat dan Yang Dilihat, Yang Diketahui dan Yang Mengetahui. Anda hanya "Adum"(kosong) "Kulli Syaiin Haalika Illa Wajhahu" (Al-Qashash:88) yang bererti "Semua binasa kecuali Wajah Allah".

Untuk mereka yang halus penelitiannya; yang punya "Ma'rifatullah" dan merasai bahawa;
"Kami akan tunjukkan kepada mereka tanda-tanda Kami dalam dunia dan dalam diri mereka, sehingga ternyata pada mereka bahawa ianya adalah benar(Haq)"
(Al-Fusilat: 53).